BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

        Manfaat air susu ibu (ASI) bagi pertumbuhan seorang anak sudah banyak dibahas dalam berbagai penelitian, seperti yang telah dilakukan oleh pakar kesehatan, dimana ditunjukkan bahwa anak-anak yang di masa bayinya mengkonsumsi ASI jauh lebih cerdas, lebih sehat dan lebih kuat dari pada anak-anak yang di masa kecilnya tidak menerima ASI.[[1]] Lebih dari pada itu ASI juga memiliki peran penting dalam menjamin kelangsungan hidup manusia.

        Selain itu, menyusui juga dapat menularkan cinta dan penguatan jiwa. Ketika si bayi sedang makan ia bisa mendengar suara hati ibu. Hal inilah yang menyebabkan relaksasi dan ketenangan pada si bayi. Lebih dari itu, peran psikologis masa menyusui mampu meningkatkan jalinan kasih sayang antara ibu dengan bayinya.[[2]] Menyusui juga bermanfaat bagi si ibu, misalnya rahim ibu lebih cepat pulih seperti sebelum hamil, kemungkinan timbulnya kanker payudara menjadi berkurang, serta dapat menjarangkan kehamilan tanpa memakai kontrasepsi.[[3]]  

            Faktanya, sebagian karir ibu yang tidak bisa ditinggalkan membuatnya seringkali sulit membagi waktu dalam menyusui anaknya. Akibatnya, asupan ASI bagi anak terkurangi. Demi memberikan asupan gizi, seringkali para ibu memberikan susu instan yang dibeli di toko-toko. Tetapi bukan gizi, susu itu ternyata tak sesehat ASI.
      Tentu saja hal ini merugikan bagi kesehatan anak. Dalam kasus lain misalnya jika ibu mengidap penyakit HIV yang bisa ditularkan lewat ASI. Lalu bagaimana cara ibu memberikan ASI pada anaknya? Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah mendapat jawaban.

       Repotnya lagi, apabila konflik keluarga ikut menjadi alasan bagi ibu untuk tidak memberikan ASI pada anaknya. Ironis memang, tetapi hal ini sering terjadi. Konflik antara suami-istri sering melibatkan anak yang tidak berdosa untuk menanggung akibat dan perkelahian itu. Padahal, apapun alasannya, baik karena karir, penyakit ibu, konflik keluarga,

          ASI adalah menjadi hak anak. Sebagian orang berpikir tentang beragam cara agar dapat menyusui bayinya walaupun dengan aktivitas yang sangat padat. Namun akhir-akhir ini, tidak sedikit para ibu yang memilih untuk tidak menyusui anaknya. Dari beberapa pemaraparan di atas dapat disimpulkan bahwa, setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan anak tidak mendapatatkan ASI.

           Pertama, ibu yang bekerja di luar rumah, yaitu seorang ibu yang memiliki pekerjaan khusus di luar rumah dalam rangka mengaktualisasikan diri dalam menekuni bidang tertentu. Kedua, faktor kesehatan, misalnya, seorang ibu yang terkena 3 penyakit HIV tidak bisa memberikan ASI kepada anaknya karena dikhawatirkan virus tersebut akan menular. Ketiga, konflik keluarga. Dan hal ini lah yang menyebabkan maraknya penjualan-belian ASI.

           Karena ASI sangat dibutuhkan  untuk  bayi terutama bayi yang baru lahir. Dan pemerintah pula gencar-gencarnya memberikan perhatian kebada bayi yang baru lahir yang harus diberikan ASI Ekskulisif dari ibunya. Dan program ASI eksklusif yaitu dengan lahirnya PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, dimana pada Pasal 6 dijelaskan bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya.
        Memang pada kenyataannya jual beli ASI masih dipandang sebagai hal yang tabu bagi masyarakat. Akan tetapi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan sangat gigih mempromosikan penggunaan ASI. Promosi yang dilakukan dengan berbagai cara yakni, menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun elektronik yang bertujuan untuk memotivasi para ibu agar memberikan ASI kepada bayi-bayi mereka. Gencarnya promosi  penggunaan ASI ini secara tidak langsung menjadi faktor pendorong terjadinya pratik donor atau jual beli ASI. Karena dalam kenyataannya tidak semua ibu bisa memberikan ASI kepada bayinya. Di kalangan umat Islam di Indonesia persoalan keabsahan praktik jual beli atau donor ASI ini menjadi isu penting yang berkembang di masyarakat, karena para fuqaha berbeda pendapat terkait keabsahan praktik ini. Makalah ini akan membahas tentang jual-beli ASI dalam prespektif islam akan di bahas dalam BAB berikutnya

     

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah pengertian jual beli ?
2.      Apakah pengertian ar-Radha'ah ?
3.      Apakah  pandangan islam dalam  jual-beli ASI ?

C.     TUJUAN
1.      Agar dapat belajar dalam memahami barang apa saja yang dapat dijual beli dalam islam
2.      Agar lebih slektif dalam berpandangan mengenai barang-barang yang dapaat dijual atau dibeli menurut pandangan islam
3.      Dapat menuntaskan salah satu tugas mata kuliah fiqh muamalah









BAB II
PEMBAHASAN


1.       JUAL BELI

A.    PENGERTIAN JUAL BELI
  
        Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I  yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira (beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli[[4]]
     Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a)      Ulama Sayyid Sabiq
      Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan(ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b)      Ulama hanafiyah       
      Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c)      Ulama Ibn Qudamah
      Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.[[5]]


B.     SYARAT-SYARAT BARANG YANG AKAN DI JUAL-BELI

  Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut :
1)      Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2)      Barang yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
3)      Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah diperjualbelikan.
4)      Barang yang diperjualbelikan jelas dan dapat dikuasai.
5)      Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan harganya.
6)      Boleh diserahkan saat akad berlangsung.[[6]]
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut :

C.     SYARAT ORANG YANG AKAN MENJUAL-BELI

Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1)      Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2)      Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3)      Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.


D.    SYARAT DALAM IJAB QOBUL JUAL-BELI

1)      Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2)      Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3)      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.[[7]]


2.       AR-RADHA’AH

A.    PENGERTIAN AR-RADHA’AH

Secara etimologis, al-radha’ah atau al-ridha’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu (al-radhi’) berupa anak kecil (bayi) atau bukan[[8]]
 Dikatakan juga bahwa radha’ah secara syara’ adalah cara penghisapan yang dilakukan ketika proses menyusu pada puting manusia dalam waktu tertentu.[[9]Radha’ah merupakan perbuatan yang dilakukan satu kali dalam penyusuan, sebagaimana lafadz dharbatan (satu kali pukul) jalsatan (satu kali duduk) dan aklatan (satu kali makan), yaitu ketika seoranganak kecil menghisap puting susu kemudian meninggalkan dengan kemauannyasendiri tanpa paksaan maka hal tersebut disebut dengan radha’ah.[[10]]


B.     LANDASAN HUKUM AR-RADHA’AH

Setidak-tidaknya ada enam ayat dalam al-Qur’an yang membicarakan perihal penyusuan anak (al-radha’ah). Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan (munasabah) hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, al-radha’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’an maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui.”[[11]]
Enam ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233 surat al-Baqarah (2), yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu (walidat) agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak.Kedua, kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma’ruf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak (sebelum dua tahun) asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain (al-murdhi’ah).
Kedua, ayat 23 surat al-Nisa’ (4), yang artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ….
Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (al-radha’ah) dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui (al-murdhi’ah) dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya (al-radhi’).
Ketiga, ayat 2 surat al-Hajj (22), yang artinya: “(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.”
Keempat, ayat 7 surat al-Qashash (28), yang artinya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”
Kelima, ayat 12 surat al-Qashash (28), yang artinya: “Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”
Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu (kandung) untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.
Keenam, ayat 6 surat al-Thalaq (65), yang artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah (yang sudah ditalak) jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa ‘iddah. Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.
Ada beberapa hadis Nabi SAW. yang menjadi landasan hukum dalam persoalan al-radha’ah ini. Antara lain, pertama, hadis dari Ibn Abbas, bahwasanya aku kehendaki agar Nabi SAW melamar anak perempuan Hamzah, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dia tidak halal untuk aku, sesungguhnya dia anak perempuan saudaraku sesusuan. Apa-apa yang diharamkan sebab nasab diharamkan juga sebab penyusuan. (Muttafaqun Alaih)[[12]]
Dari hadis di atas dapat diambil istimbat hukum bahwa anak perempuan saudara sesusuan termasuk orang-orang yang diharamkam karena susuan. Dalam hadis yang lain juga disebutkan orang-orang yang diharamkam karena susuan, yakni ibu susuan, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, saudara dari ayah susuan, saudara perempuan dari ibu susuan, dan anak perempuan dari saudara laki-laki susuan.
Kedua, hadis dari Aisyah ia berkata: semua susuan yang menyebabkan kemuhriman adalah sepuluh kali susuan seperti yang tersebut di sebagian ayat al-Qur’an, kemudian dinasakh menjadi lima susuan oleh ayat al-Qur’an. Setelah itu Rasulullah wafat dan ayat-ayat al-Qur’an tetap dibaca seperti itu.” (Riwayat Muslim).[[13]]

3.      PERSPEKTIF ISLAM DALAM HUKUM JUAL BELI ASI
Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW sendiri tidak disusui oleh ibu kandungnya yaitu Siti Aminah melainkan disusui oleh ibu susunya Ummu Aiman dan Halimatussa’diyah. Sudah menjadi adat kebiasaan penduduk Mekah  bahkan di jazirah Arab mencari ibu susuan untuk anak mereka, mereka memilih orang-orang dari pedesaan, karena faktor kesehatan baik udara, lingkungan dan makanan  juga masyarakat di pedesaan masih memiliki akhlak yang terpuji.
Oleh karena itu menyusukan anak kepada wanita lain yang dipercaya dibolehkan dalam Islam. Adapun ulama sepakat bahwa wanita yang menyusui itu baik yang sudah baligh atau belum, sudah menopause atau belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil, yang penting mereka diyakini ada air susunya. Yang mana air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhâ’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.
Tentunya sebagai orang tua kandung yang ingin anaknya disusui oleh wanita lain harus benar-benar  melihat akhlak, asupan gizi , kondisi kesehatan dan lingkungan tempat tinggal ibu susunya agar mampu memberikan asi terbaik untuk anaknya, karena peran asi sangat signifikan dalam tumbuh kembang anak, baik kesehatan jasmani maupun rohani.
Di sisi lain, dijelaskan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam kitab tafsirnya, para ahli hukum Islam (Islamic jurists) bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan syara’ hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab (al-mas`uliyyah) di hadapan Allah SWT. atas kehidupan anaknya.
     Berdasarkan zahir ayat 233 surat al-Baqarah tersebut menunjukkan bahwa seorang ibu
wajib menyusui anaknya. Pendapat ini diungkapkan oleh Mazhab Maliki. Sementara itu,
menurut jumhur fuqaha perintah untuk menyusui bagi seorang ibu yang terkandung
dalam ayat tersebut adalah sunnah (dianjurkan).[[14]]

    Berpijak pada jumhur di atas bahwa menyusui adalah anjuran bagi  seorang ibu, artinya ketika seorang ibu tidak mau menyusui anaknya maka boleh menyerahkan anak tersebut terhadap orang lain untuk disusui.[[15]]
Mengenai kebolehan mencari ibu susuan untuk memberikan ASI kepada
bayinya, Allah berfirman:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [[16]]
       Ayat di atas menunjukkan bolehnya menyusui anak pada wanita  lain dan juga boleh memberikan upah kepada orang yang menyusukan tersebut. Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ[[17]]
       memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang menyusukan dan menjelaskan tentang kebolehan menyusukan kepada perempuan lain apabila ada halangan pada diri seorang ibu.

      Adapun masih perdebatanya ASI boleh di jual-belikan atau tidak masih menjadi pro dan kontra sebab banyak pendapat yang masih mengharamkan adanya jual beli ASI karena ASI disamakan dengan daging manusia. ASI juga dianggap bukan  harta benda yaitu tidak dibolehkan bagi kita mengambil manfaat dalam ASI, hanya dibolehkan dalam keadaan darurat bagi bayi yang tidak bisa memperoleh gizi dengan cara lain. Jadi apa yang tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya tidaklah dianggap bagian harta seperti babi dan narkotika. Selain itu, ASI juga tidak dijual di pasar karena tidak dianggap bagian dari harta benda.
 Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut. Pertama, tidak boleh menjual ASI. Pendapat ini dikeluarkan oleh Madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf. Begitu juga pendapat dari Syafi’iyah walaupun tergolong pendapat yang lemah. Hanabilah juga melarang jual beli ASI. Kedua, pendapat yang mengatakan bolehnya jual beli ASI manusia. Masuk dalam golongan yang membolehkan jual beli ASI ini adalah Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari Mazhab Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga Mazhab Ibnu Hazm.[[18]]
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia. Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya.[[19]]

Dalam kajian beberapa pihak-pihak banyak yang meneliti bahwa jual beli ASI di bolehkan seperti contoh skripsi yang membahas tentang jual beli ASI yaitu: ”Tinjauan Hukum Islam terhadap jual Beli Air Susu Ibu (ASI),” oleh Lisa Ma’rifah, (2008). Bahasan penelitian ini lebih menekankan pada aspek jual beli Air Susu Ibu (ASI) yang dilakukan dengan cara memeras air susu dan bukan dengan cara langsung menyusui lewat puting. Dalam hal ini menurut hukum Islam hal tersebut bukanlah termasuk suatu proses penyusuan, karena tidak ada kontak secara langsung antara bayi dan ibu. Praktik ini dipandang sah karena seluruh unsur-unsur dalam jual beli telah terpenuhi, yakni menyangkut subyek akad, obyek akad, dan nilai tukar pengganti.[[20]]








BAB III
PENUTUP

1.      KESIMPULAN

Praktik jual beli ASI  dapat dikatakan sah dalam transaksinya, karena sudah memenuhi syarat dan rukun jual beli. Hal ini sesuai dengan konsep jual beli mazhab Syafi’i, yang mana telah sesuai dengan lima syarat jual beli yang diperbolehkan yaitu:Pertama, suci.Kedua, dapat bermanfaat. Ketiga, milik orang yang melakukan akad Keempat, harus bisa diserah terimakan. Kelima, barangnya diketahui. Syafi’iyah menekankan alasan kebolehannya karena ASI sifatnya suci dan dapat bermanfaat terhadap bayi.
Namun dalam pandangan yang lain juga ASI yang di Donor ASI melalui bank ASI atau di jual di bank-bank ASI , berpotensi merancukan hubungan mahram atau persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekedar memberikan identitas dirinya secara umum, seperti seseorang yang akan mendonorkan darahnya. Selanjutnya tidak dapat dilacak siapa saja bayi-bayi yang pernah mengkonsumsi ASI-nya, sehingga tidak jelas bagi seseorang siapa bermahram dengan siapa. Akibatnya, akan terjadi kelak di kemudian hari, seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita yang ternyata pernah mengkonsumsi ASI dari seorang wanita pendonor ASI yang sama. Bila hal ini terjadi, berarti pasangan tersebut telah melakukan keharaman karena menikahi mahram yang terjadi akibat ikatan saudara sepersusuan.Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor ASI yang disimpan di bank ASI tanpa dilengkapi dengan pencatatan secara syar’i. jadi lebih baik menjual ASI secara langsung mengetahui siapa yang akan disusui agar tidak terjadi dikemudian hari.






DAFTAR PUSAKA


Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Beirut: Dar Ihya` al-‘Ulum, 1991)
Sabiq, Vide Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Vol III, (Lebanon: Dar-al-Fikr, 1981)
Musbikin, Imam, Qawa’id Fiqhiyyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Mei 2001
Nata, Abuddin (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta Press, Edisi I, Juli 2003
Azam, ‘Abd al-‘Aziz Muhammad, Qawa’id Fiqhiyyah; Dirasah Manhajiyyah Tathbiqiyyah Syamilah, Maktab al-Risalah al-Dauliyah li al-Thiba’ah wa al-Kombyuter, Cairo Egypt, 1998-1999
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Januari 2002
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor Chuzaimah. T. Yanggo, Hafiz Anshry, Buku Keempat, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 21
Wifaqatus syafilah,” PRAKTIK JUAL BELI AIR SUSU IBU (ASI) DI INDONESIA DALAM       PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I” skripsi, UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan Hukum,2015.




[1] Abdul Hakim Abdullah, Keutamaan Air Susu Ibu, alih bahasa Abdul Rakhman, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), hlm. 30.
[2] Hasan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan: Obstetri Dan Genologi Dalam Tinjauan Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 46.
[3] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Cet-1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 112.

[4] Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4.
[5] Ibid
[6] MS. Wawan Djunaedi, Fiqih, (Jakarta : PT. Listafariska Putra, 2008), hlm. 98
[7] Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007), hlm. 7.
[8] ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1987), hlm. 250-251.
[9] ibid
[10] Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz VII, (Beirut: Dar al-Jil, 1995), hlm. 241
[11]  Ibn Rusyd al-Qurthubiy al-Andalusiy, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I, (t.tp.: t.p., t.t.), hlm. 30. Baca juga al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Kairo: Al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, t.t.), hlm. 221
[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Beirut: Dar Ihya` al-‘Ulum, 1991), hlm. 472
[13] Ibid
[14] Al-sabuni, Rawai al bayan fi tafsir al ayat Al-Alikam ( bairut : Dar Al Kutub al-islamiyah,t.t) I : 276
[15] Isti’anah, “Donor ASI (Air Susu Ibu) Dan Implikasi Terhadap Hubungan Kemahraman,” skripsi
, UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan Hukum, (2010), hlm. 2.

[16] surat al-Baqarah [2] : 233
[17] Surah al-talaq ayat 6
[18] Wifaqatus syafilah,” PRAKTIK JUAL BELI AIR SUSU IBU (ASI) DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I” skripsi, UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan Hukum,2015. Hlm 8

[19]  ibid
[20]  ibid