Rabu, 28 Februari 2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketentraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya di sekelilingnya. Diperlukan aturan-aturan yang bersifat memaksa menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam bermasyarakat pada suatu Negara , maka Negara membuat suatu aturan hukum. Perilaku masyarakat tidak boleh bertentagan dengan peraturan hukum yang asa pada Negara.
     Setiap ada pelanggaran peraturan hukum atau pelanggaran hak, maka pada asasnya pelaku pelanggar dapat di tegur atau di hadapkan ke muka lat perlengkapan Negara yang memiliki tugas untuk mempertahankan hukum tersebut. Alat Negara yang memiliki tugas untuk mempertahankan hukum itu adalah Pengadilan. Pengadilan merupakan suatu badan yang melakukan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya Lembaga Institusi  Hukum Pengadilan, maka setiap ada pelanggaran hukum atau pelanggaran hak masyarakat dilarang utuk menyelesaikan sendiri secara sewenang-wenang, tindakan seperti ini di sebut egensichatting.
    Pengadilan merupakan suatu badan yang melakukan kekuasaan kehakiman, kekusaan untuk mempertahankan peraturan perundangan atau kekuasaan peradilan yudikatif berada di tangan Badan Pengadilan yang terlepas dan bebas dari campur tangan kekuasaan Legislatif dan Eksekutif agar dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
    Peran Pengadilan sangat penting bagi Negara karena menjadi Badan Pengadilan di Indonesia yang memiliki tugas mengadili dan menyelesaikan sengketa hukum. Selain itu pengadilan di gunakan untuk mencari kedilan. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pengadilan negeri yang merupakan salah satu pengadilan di Indonesia dan bagaimana kompetensi dari pengadilan negeri itu sendiri dan akan penulis jelaskan pada bab selanjutnya.

2.      RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pegertian kompetensi ?
b.      Apakah kompetensi dari Pengadilan Negeri ?
c.       Jenis perkara apa sajakah yang di tangani oleh Pengadilan Negeri ?




BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN KOMPENTENSI

Kompetensi sendiri berasal dari Bahasa Belanda “Competentie” yang dapat di terjemahkan dengan kewenangan, kekuasaan.[1]
Dan Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu)Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan lingkungan pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama,dan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Administrasi). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri atas Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi (Banding), dan Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi).
Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yang ada, jumlah pengadian tingkat tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat I (provinsi),
 Sedangkan Mahkamah Agung (kasasi) hanya ada di ibukota Negara sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara : pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya. kedua dengan melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi.ketiga dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN).
 Menurut Sjarah Basah pembagian kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan melalui bagan nerikut:
 a.       Atribusi berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat    (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
1)       Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh; Pengadilan Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer.
2)       Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh; Pengadilan Negeri (Umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
b.      Distribusi berkaitan dengan pemberian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh; Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.[2]
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and Ulrich dalam Suparno (2005:24) bahwa “competency refers to an individual’s knowledge, skill, ability or personality characteristics that directly influence job performance”. Artinya, kompetensi mengandung aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan (keahlian) dan kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang mempengaruhi kinerja.
sama dengan para para ahlinya kopetensi menurut Poerdarwaminta (1993:518) bahwa kompensi adalah kekuasaan (kewenangan) untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.
 Terkait tentang kompetensi peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara peradilan  yang biasanya menyangkut 2 hal yakni kekuasaan Relatif dan kekuasaan Absolut.

B. KOMPETENSI PENGADILAN NEGERI

Pada dasarnya di setiap kabupaten/kota di bentuk pengadilan negeri. Pengadilan negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya atau (kompetensi relatifnya) meliputi wilayah kabupaten/ kota.[3] Kompetensi terbagi menjadi 2 yakni :

a(A)      KOMPETENSI RELATIF
Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pada daerah hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi kabupaten/kota.[4]
Artinya setiap badan peradilan berwenang mengadili perkara yang menjadi kekuasaanya berdasarkan wilayah hukum yang berlaku.
Contohnya : Peradilan Negeri Tanjung karang berwenang mengadili perkara perdata yang berada di wilayah kota Bandar Lampung, dan tidak berwenang mengadili perkara yang masuk wilayah kekuasaan Pengadilan negeri Metro.[5] Kompetensi Relatif diatur dalam Pasal 118 Het Herziene Indonesisch Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR).  Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa "Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya". Sumber untuk menentukan tempat kediaman yaitu berdasarkan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Pajak dan Anggaran Dasar Perseroan (jika Tergugatnya adalah suatu Perseroan).
Pasal 118 ayat (2) HIR menyatakan bahwa "Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama".
Pasal 118 ayat (3) HIR menyatakan bahwa "Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut".
 Pasal 118 ayat (4) HIR menyatakan bahwa "Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu".
Tiap-tiap pengadilan Negeri mempunyai wilayah hukum tertentu atau yurisdiksi relatif tertentu yaitu meliputi satu kota madya atau satu kabupaten. Dalam artinya untuk mengetahui kemana orang akan mengajukan perkaranya dan hubungan dengan hak eksepsi tergugat.
Contoh persoalan dalam adanya kekompetensian Relatif ialah bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti) seperti dalam hukum acara pidana.[6]

b(B)     KOMPETENSI ABSOLUTE

Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasar pada kewenangan/beban tugas yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan mengadili perkara yang di beban kan kepada pengadilan negeri meliputi perkara perdata dan perkara pidana pada tingkat pertama.[7] Yang artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis pekara atau jenis pengadilan. Contohnya : Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan perkara perdata umum, perkara pidana, bukan perkara perdata islam. Dan PN berwenang menyelesaikan masalah perdata non-muslim.
Mengapa dilakukan pemisahan yurisdiksi? Hal itu dilakukan karena:
- masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu;
- kewenangan tertentu tersebut menciptakan kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction;
- masing-masing peradilan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang diatur Undang-Undang.

KEWENANGAN PERADILAN UMUM
Peradilan Umum atau lebih dikenal dengan Pengadilan Negeri memilii kewanangan untuk mengadili perkara pidana dan perdata. Tetapi dalam hal perkara permohonan pailit dan sengketa ketenagakerjaan menjadi wewenang peradilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yaitu Pengadilan Niaga dan Perngadilan Hubungan Industrial.

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
Kewenangan peradilan agama antara lain mengenai perkara: Perkawinan, yaitu talak, cerai, pembatalan perkawinan beserta akibat hukumnya; Kewarisan meliputi waris, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (berarti bahwa para pihak tidak harus beragama Islam, tetapi didasarkan pada Hukum Islam); Wakaf dan Shadaqah.

KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kewenangan PTUN yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat, baik orang maupun badan hukum, akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konkret, Individual, dan Final.

KEWENGAN PERADILAN MILITER
Peradilan Militer berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah anggota TNI, tanpa melihat apakah korban tersebut adalah sesama TNI ataupun warga sipil.[8]
Dan apabila apa yang telah ditetapkan menjadi kewenangan suatu badan perdilan maka mutlak menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang telah menjadi kekuasaanya. Kalau tidak termasuk kekuasaan absolutnya, setiap pengadilan negeri, agama, tata usaha negara, maupun militer dilarang menerimanya. Jika ada pengadilan ada yang menerima di luar kekuasaannya maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan eksepsi absolute.[9]
Bagaimana jika gugatan yang diajukan menyalahi kompetensi pengadilan baik absolut maupun relatif? Maka akibat hukumnya, antara lain:
- Hakim dapat menyatakan dirinya tidak berwenang;
- Tergugat dapat mengajukan eksepsi tentang kompetensi. Apabila Tergugat mengajukan EKSEPSI tentang kompetensi (absolut atau relatif), maka hakim WAJIB mengeluarkan Putusan Sela.
- Apabila terbukti maka Gugata tidak dapat diterima/ Niet Onvankelijke Verklaard (NO).

C. JENIS PERKARA YANG DI TANGANI PENGADILAN NEGERI

 Menurut Yahya Harahap, gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:
1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)
Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUH Perdata, yang pada prinsipnya membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUH Perdata juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi. Dan waris, perceraian non-muslim yang menjadi kekuasaan PN
2. Gugatan PMH
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu somasi. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).
 Agar Pengugat dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan PMH, maka harus dipenuhi unsur-unsur yaitu:
1.      Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;
2.      Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan tetapi juga dapat berupa:
a.       Melanggar hak orang lain.
b.      Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
c.       Bertentangan dengan kesusilaan.
d.      Bertentangan dengan kepentingan umum.
e.       Adanya kesalahan;
f.        Ada kerugian, baik materil maupun immaterial;
g.      Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan ,melawan hukum tersebut dengan kerugian.

3. Voluntaire Jurisdictie/Permohonan
 Dalam perkara ini bukanlah peradilan yang sesungguhnya karena tidak mengandung konflik. Dalam perkara ini hanya terdapat satu pihak yang berperkara, yaitu pemohon. Hakim memiliki kekuasaan untuk menggunakan kebijaksanaannya dan produk hakim yang dikeluarkan adalah berupa penetapan. Contohnya yaitu penetapan adopsi, ganti nama, ganti status kelamin, penetapan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pembubaran Perseroan Terbatas (PT).[10]



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum acara perdata adalah  hukum yang mengatur bagaimana menjamin ditaatinya hukum perdata (sebagai hukum material ) dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, dapat disebut sebagai hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan serta melaksanakan putusan hakim.
Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.
Dalam penegakkan hukum yang efisien terbentuklah kompentensi dari beberapa peradilan Indonesia yang memiliki kekuasaan dalam penegakkan keadilan hukum, dalam hal itu pembagian kekuasaan di perlukan agar seseorang dapat mengetahui ke Pengadilan manakah dia harus mengajukan perkaranya.


DAFTAR PUSAKA
Apul.Yan,S.H., 1976. Kuliah Hukum Acara Perdata. Fakultas Hukum, Jakarta: Unika Atma Jaya.
Daliyo,J.B,dkk. 1992.Pengantar Hukum Indonesia. Buku Panduan Mahasiswa.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fidawaty,linda. 2016. Hukum Acara Perdata Indonesia.Lampung :Slamet Bugiono
Goesniadhie Kusnu. 2010. Tata Hukum Indonesia. Surabaya: Nasa Media.
Mertokusumo, Sudikno. 2002. . Edisi Keenam.Yogyakarta: Liberty.
Muhammad,Abdulkadir.2015. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia.Bandung: Armico
Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo. 1983. Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi. Jakarta: Rajawali.
http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/jenis-jenis-gugatan-perkara-perdata-yang-lazim-diajukan-di-peradilan-umum/ dikunjungi tanggal 25/2/2018




[1] Linda firdawaty. Peradilan Agama di Indonesia. Lampung. 2016. Hlm 128.
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. 2002. Edisi Keenam (Yogyakarta: Liberty) hlm 150.
[3] Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum.
[4] Abdulkadir Muhammad.Hukum acara perdata Indonesia.citra Aditya bakti.Bandung.2005.hlm23.
[5] Linda Firdawaty, op.cit. hlm 129.
[6] Yan Apul. Kuliah Hukum Acara Perdata.1976 (Jakarta: Unika Atma Jaya) hlm 144.
[7] Abdulkadir muhammad. Op.cit. hlm 24.
[8] Kusna Goesniadhie, Tata Hukum Indonesia.2010 (Surabaya : Nasa Media), hlm 180.
[9] Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
[10] J.B  Daliyo, dkk. Pengantar Hukum Indonesia. 1992 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) hlm 145.

1 komentar:

Information For Teenager . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates