MAKALAH KOMPETENSI RELATIF DAN ABSOLUTE PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan
di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketentraman dan
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut
"stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan
perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila
masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan
dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya di sekelilingnya.
Diperlukan aturan-aturan yang bersifat memaksa menjamin keseimbangan agar dalam
hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam bermasyarakat pada suatu
Negara , maka Negara membuat suatu aturan hukum. Perilaku masyarakat tidak
boleh bertentagan dengan peraturan hukum yang asa pada Negara.
Setiap ada pelanggaran peraturan hukum
atau pelanggaran hak, maka pada asasnya pelaku pelanggar dapat di tegur atau di
hadapkan ke muka lat perlengkapan Negara yang memiliki tugas untuk
mempertahankan hukum tersebut. Alat Negara yang memiliki tugas untuk
mempertahankan hukum itu adalah Pengadilan. Pengadilan merupakan suatu badan
yang melakukan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya Lembaga Institusi Hukum
Pengadilan, maka setiap ada pelanggaran hukum atau pelanggaran hak masyarakat
dilarang utuk menyelesaikan sendiri secara sewenang-wenang, tindakan seperti
ini di sebut egensichatting.
Pengadilan merupakan suatu badan yang melakukan
kekuasaan kehakiman, kekusaan untuk mempertahankan peraturan perundangan atau
kekuasaan peradilan yudikatif berada di tangan Badan Pengadilan yang terlepas
dan bebas dari campur tangan kekuasaan Legislatif dan Eksekutif agar dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Peran Pengadilan sangat penting bagi Negara
karena menjadi Badan Pengadilan di Indonesia yang memiliki tugas mengadili dan
menyelesaikan sengketa hukum. Selain itu pengadilan di gunakan untuk mencari
kedilan. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pengadilan negeri yang
merupakan salah satu pengadilan di Indonesia dan bagaimana kompetensi dari
pengadilan negeri itu sendiri dan akan penulis jelaskan pada bab selanjutnya.
2.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Apa
pegertian kompetensi ?
b.
Apakah
kompetensi dari Pengadilan Negeri ?
c.
Jenis
perkara apa sajakah yang di tangani oleh Pengadilan Negeri ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KOMPENTENSI
Kompetensi
sendiri berasal dari Bahasa Belanda “Competentie” yang dapat di terjemahkan
dengan kewenangan, kekuasaan.[1]
Dan Kompetensi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan sesuatu). Kompetensi dari suatu pengadilan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan
tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan lingkungan
pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan
Agama,dan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Administrasi).
Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri atas Pengadilan Tingkat
Pertama, Pengadilan Tinggi (Banding), dan Mahkamah
Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi).
Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh
jumlah pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yang ada, jumlah
pengadian tingkat tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat I
(provinsi),
Sedangkan Mahkamah Agung (kasasi) hanya ada di ibukota Negara
sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara : pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya. kedua dengan melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi.ketiga dengan
melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya
terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi
adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak
dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah
administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN).
Menurut Sjarah Basah pembagian kompetensi atas atribusi dan
delegasi dapat dijelaskan melalui bagan nerikut:
a. Atribusi berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat
bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
1) Secara horizontal, yaitu
wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya,
yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh; Pengadilan Administrasi
terhadap Pengadilan Negeri (Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer.
2) Secara vertikal,
yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan
terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis
mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh; Pengadilan Negeri (Umum) terhadap
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
b. Distribusi berkaitan dengan pemberian wewenang, yang bersifat terinci
(relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh;
Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri Garut, Tasikmalaya, dan
Ciamis.[2]
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker and
Ulrich dalam Suparno (2005:24) bahwa “competency refers to an individual’s
knowledge, skill, ability or personality characteristics that directly
influence job performance”. Artinya, kompetensi mengandung aspek-aspek
pengetahuan, ketrampilan (keahlian) dan kemampuan ataupun karakteristik
kepribadian yang mempengaruhi kinerja.
sama dengan para para ahlinya kopetensi menurut
Poerdarwaminta (1993:518) bahwa kompensi adalah kekuasaan (kewenangan) untuk menentukan atau memutuskan suatu
hal.
Terkait tentang kompetensi peradilan dalam
kaitannya dengan hukum acara peradilan
yang biasanya menyangkut 2 hal yakni kekuasaan Relatif dan kekuasaan
Absolut.
B. KOMPETENSI
PENGADILAN NEGERI
Pada
dasarnya di setiap kabupaten/kota di bentuk pengadilan negeri. Pengadilan
negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya atau
(kompetensi relatifnya) meliputi wilayah kabupaten/ kota.[3]
Kompetensi terbagi menjadi 2 yakni :
a(A)
KOMPETENSI RELATIF
Yaitu
kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pada daerah
hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi kabupaten/kota.[4]
Artinya setiap
badan peradilan berwenang mengadili perkara yang menjadi kekuasaanya
berdasarkan wilayah hukum yang berlaku.
Contohnya
: Peradilan Negeri Tanjung karang berwenang mengadili perkara perdata yang
berada di wilayah kota Bandar Lampung, dan tidak berwenang mengadili perkara
yang masuk wilayah kekuasaan Pengadilan negeri Metro.[5] Kompetensi Relatif diatur dalam Pasal 118 Het
Herziene Indonesisch Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR). Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa
"Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup
wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat
gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal
123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika
tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat
tinggalnya yang sebenarnya". Sumber untuk menentukan tempat kediaman yaitu
berdasarkan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Pajak dan Anggaran
Dasar Perseroan (jika Tergugatnya adalah suatu Perseroan).
Pasal
118 ayat (2) HIR menyatakan bahwa "Jika yang digugat lebih dari seorang,
sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka
tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang
tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang
debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6
ayat (2) "Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di
Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat
tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama".
Pasal
118 ayat (3) HIR menyatakan bahwa "Jika tidak diketahui tempat diam si
tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal
orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat
tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang
barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya terletak barang tersebut".
Pasal
118 ayat (4) HIR menyatakan bahwa "Jika ada suatu tempat tinggal yang
dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya
kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat
tinggal yang dipilih itu".
Tiap-tiap pengadilan Negeri mempunyai wilayah hukum
tertentu atau yurisdiksi relatif tertentu yaitu meliputi satu kota madya atau
satu kabupaten. Dalam artinya untuk mengetahui kemana orang akan mengajukan
perkaranya dan hubungan dengan hak eksepsi tergugat.
Contoh persoalan dalam adanya kekompetensian Relatif ialah bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat
tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan
ke salah satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat
dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana,
sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan
dapat diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan
demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara
adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus
delicti) seperti dalam hukum acara pidana.[6]
b(B)
KOMPETENSI ABSOLUTE
Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasar pada
kewenangan/beban tugas yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan mengadili
perkara yang di beban kan kepada pengadilan negeri meliputi perkara perdata dan
perkara pidana pada tingkat pertama.[7]
Yang artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis pekara atau
jenis pengadilan. Contohnya : Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan perkara
perdata umum, perkara pidana, bukan perkara perdata islam. Dan PN berwenang
menyelesaikan masalah perdata non-muslim.
Mengapa
dilakukan pemisahan yurisdiksi? Hal itu dilakukan karena:
- masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu;
- kewenangan tertentu tersebut menciptakan kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction;
- masing-masing peradilan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang diatur Undang-Undang.
- masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu;
- kewenangan tertentu tersebut menciptakan kewenangan absolut atau yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subject matter of jurisdiction;
- masing-masing peradilan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang diatur Undang-Undang.
KEWENANGAN PERADILAN UMUM
Peradilan
Umum atau lebih dikenal dengan Pengadilan Negeri memilii kewanangan untuk
mengadili perkara pidana dan perdata. Tetapi dalam hal perkara permohonan
pailit dan sengketa ketenagakerjaan menjadi wewenang peradilan khusus yang
berada di lingkungan peradilan umum yaitu Pengadilan Niaga dan Perngadilan
Hubungan Industrial.
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
Kewenangan
peradilan agama antara lain mengenai perkara: Perkawinan, yaitu talak, cerai,
pembatalan perkawinan beserta akibat hukumnya; Kewarisan meliputi waris,
wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (berarti bahwa para pihak
tidak harus beragama Islam, tetapi didasarkan pada Hukum Islam); Wakaf dan
Shadaqah.
KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kewenangan
PTUN yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dengan masyarakat, baik orang maupun badan hukum, akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konkret, Individual,
dan Final.
KEWENGAN PERADILAN MILITER
KEWENGAN PERADILAN MILITER
Peradilan
Militer berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah anggota TNI,
tanpa melihat apakah korban tersebut adalah sesama TNI ataupun warga sipil.[8]
Dan apabila apa yang telah ditetapkan menjadi kewenangan suatu badan
perdilan maka mutlak menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutuskan
perkara yang telah menjadi kekuasaanya. Kalau tidak termasuk kekuasaan
absolutnya, setiap pengadilan negeri, agama, tata usaha negara, maupun militer
dilarang menerimanya. Jika ada pengadilan ada yang menerima di luar
kekuasaannya maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan
eksepsi absolute.[9]
Bagaimana
jika gugatan yang diajukan menyalahi kompetensi pengadilan baik absolut maupun
relatif? Maka akibat hukumnya, antara lain:
- Hakim dapat menyatakan dirinya tidak berwenang;
- Tergugat dapat mengajukan eksepsi tentang kompetensi. Apabila Tergugat mengajukan EKSEPSI tentang kompetensi (absolut atau relatif), maka hakim WAJIB mengeluarkan Putusan Sela.
- Apabila terbukti maka Gugata tidak dapat diterima/ Niet Onvankelijke Verklaard (NO).
- Hakim dapat menyatakan dirinya tidak berwenang;
- Tergugat dapat mengajukan eksepsi tentang kompetensi. Apabila Tergugat mengajukan EKSEPSI tentang kompetensi (absolut atau relatif), maka hakim WAJIB mengeluarkan Putusan Sela.
- Apabila terbukti maka Gugata tidak dapat diterima/ Niet Onvankelijke Verklaard (NO).
C. JENIS PERKARA YANG DI TANGANI PENGADILAN NEGERI
Menurut Yahya
Harahap, gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:
1. Gugatan
wanprestasi (ingkar janji)
Ditinjau dari
sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”) timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena
itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat
terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena
wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUH Perdata, yang pada prinsipnya
membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUH Perdata juga
telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat
dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam
wanprestasi. Dan waris, perceraian non-muslim yang menjadi kekuasaan PN
2. Gugatan PMH
Menurut Pasal 1365
KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian
pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu somasi.
Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk
menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan
rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa digugat ganti kerugian yang
nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang
tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).
Agar Pengugat
dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan PMH, maka harus dipenuhi unsur-unsur
yaitu:
1. Harus ada
perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun
bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;
2. Perbuatan
tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah diartikan
secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan tetapi
juga dapat berupa:
a.
Melanggar hak orang lain.
b.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
c.
Bertentangan dengan kesusilaan.
d.
Bertentangan dengan kepentingan umum.
e.
Adanya kesalahan;
f.
Ada kerugian, baik materil maupun immaterial;
g.
Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan
,melawan hukum tersebut dengan kerugian.
3. Voluntaire Jurisdictie/Permohonan
Dalam
perkara ini bukanlah peradilan yang sesungguhnya karena tidak mengandung
konflik. Dalam perkara ini hanya terdapat satu pihak yang berperkara, yaitu
pemohon. Hakim memiliki kekuasaan untuk menggunakan kebijaksanaannya dan produk
hakim yang dikeluarkan adalah berupa penetapan. Contohnya yaitu penetapan
adopsi, ganti nama, ganti status kelamin, penetapan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), pembubaran Perseroan Terbatas (PT).[10]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana
menjamin ditaatinya hukum perdata (sebagai hukum material ) dengan perantaraan
hakim. Dengan kata lain, dapat disebut sebagai hukum yang mengatur bagaimana
cara mengajukan gugatan serta melaksanakan putusan hakim.
Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara
Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam
penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan,
memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh
karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan
ketentuan hukum perdata materil.
Dalam penegakkan hukum yang efisien
terbentuklah kompentensi dari beberapa peradilan Indonesia yang memiliki
kekuasaan dalam penegakkan keadilan hukum, dalam hal itu pembagian kekuasaan di
perlukan agar seseorang dapat mengetahui ke Pengadilan manakah dia harus
mengajukan perkaranya.
DAFTAR PUSAKA
Apul.Yan,S.H., 1976. Kuliah
Hukum Acara Perdata. Fakultas Hukum, Jakarta: Unika Atma Jaya.
Daliyo,J.B,dkk. 1992.Pengantar Hukum Indonesia. Buku Panduan
Mahasiswa.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fidawaty,linda. 2016. Hukum Acara Perdata
Indonesia.Lampung :Slamet Bugiono
Goesniadhie Kusnu. 2010. Tata
Hukum Indonesia. Surabaya:
Nasa Media.
Mertokusumo, Sudikno. 2002. .
Edisi Keenam.Yogyakarta: Liberty.
Muhammad,Abdulkadir.2015. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Samidjo. 1985. Pengantar
Hukum Indonesia.Bandung: Armico
Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo. 1983. Sendi-sendi Hukum Perdata
Internasional Suatu Orientasi. Jakarta: Rajawali.
https://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum-acara-perdata/.
Dikunjungi tanggal 25/2/2018
http://fitriahartina011.blogspot.co.id/2013/03/kompetensi-pengadilan-secara-absolut_31.html dikunjungi tanggal 25/2/2018
http://regitaku.blogspot.co.id/2016/03/jenis-perkara-perdata-dan-kompetensi.html dikunjungi tanggal 25/2/2018
http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/jenis-jenis-gugatan-perkara-perdata-yang-lazim-diajukan-di-peradilan-umum/
dikunjungi tanggal 25/2/2018
[1]
Linda firdawaty. Peradilan Agama di Indonesia. Lampung. 2016. Hlm 128.
[2]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. 2002.
Edisi Keenam (Yogyakarta: Liberty) hlm 150.
[3]
Pasal
4 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum.
[4]
Abdulkadir Muhammad.Hukum acara perdata Indonesia.citra Aditya
bakti.Bandung.2005.hlm23.
[7]
Abdulkadir muhammad. Op.cit. hlm 24.
[9]
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio
declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”).
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134
HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan
oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses
pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat
pertama (Pengadilan Negeri).
1 komentar:
Terimakasih kak 👍👍👍👍👍
REPLY