Kamis, 08 Agustus 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.     LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi.

2.     RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?
2.      Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
3.      Apakah tujuan dari Ijtihad?

3.     TUJUAN  PENULISAN
1.  Untuk mengetahui pengertian Ijtihad
2.     Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad
3.     Untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem politik islam
4.    Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN IJTIHAD
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).[[1]] Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.[[2]]Dalam Al-Qur’an disebutkan:
 وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ …
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
            Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
            Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَجْتَهِدُا وْ فِى الدُّعَاءِ   
Artinya:
Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.[[3]]
 Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadiijtahada  pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadiiktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.[[4]]
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1.      Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.        Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3.      Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”[[5]]
 Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.[[6]]
            Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal berikut:
A.    Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
B.      Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
C.     Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang ‘amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya. [[7]]
   Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.

B.     DASAR HUKUM IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:[[8]]
1.      Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105
 إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
إِنَّ فى ذَا لِكَ لَأ يَا تٍ لِقَوْ مٍ يَتَفَكَرُ وْنَ
Artinya:
“sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”
2.        Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ                                     إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.[[9]]
3.      Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
            Sabda Nabi SAW:
إذَا حكم الحاكم فاجْتهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْتهد ثـمّ أخْطأ فلهُ أجْرٌ
            Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.[[10]]
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ  (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).[[11]]
            Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[[12]]

C.     TUJUAN IJTIHAD
Menurut beberapa pendapat ijtihad memiliki tujuan adalah untuk memudahkan kaum muslim dalam menyesuaiakan diri mereka dengan pandangan islam tentang kehidupan. Dan berdasarkan  prinsip dari sudut pandang teoritis ijtihad bertujuan memperhatikan pandangan islam diterapkan sebanyak mungkin dalam kehidupan seorang individu yang berhubungn dngan prilaku dan tindakan individualnya serta kehidupan sosialnya ketika diperlukan dalam hubungan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat.[[13]]
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut
a.       Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b.       Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c.        Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d.        Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:
1.      Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
2.      Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
3.       Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.[[14]]


BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu. Dan tujuan dari ijtihad ialah untuk memudahkan kaum muslim dalam menyesuaiakan diri mereka dengan pandangan islam tentang kehidupan.






















DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 1. Jakarta: Yudhistira
Matsum, Hasan. Diktat Ushul Fiqh. Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan 2012
Muhammad Baqir, Sayid. Sistem Politik Islam. Jakarta; Penerbit Lentera. 2009
Syafa’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
Syuhada, Harjan, dkk. 2010. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: Bumi Aksara




[1] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97
[2] Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
[4] Ibid. h. 98
[5] Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN  SU Medan,  h. 85
[6] Ibid.
[7] Harjan Syuhada et.al.,  Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h. 57
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 101


[9] Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN  SU Medan,  h. 86
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)  h. 143


[11] http://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/
[12] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 103
[13] Sayid Muhammad Baqir, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera) h.59
[14] Margiono et.al., Pendidikan Agama Islam 1 Lentera Kehidupan, (Jakarta: Yhudistira, 2007),  h. 86



Information For Teenager . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates