MAKALAH DASAR HUKUM IJTIHAD DALAM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para
sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri,
ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang
semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak
ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari
ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas
dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad
adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama
yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah
ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita
harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga,
dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh
umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru
terjadi.
2.
RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan
beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud
dengan Ijtihad?
2. Apa saja yang menjadi
dasar hukum Ijtihad?
3. Apakah tujuan dari
Ijtihad?
3.
TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk mengetahui
pengertian Ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem politik islam
4. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN IJTIHAD
Secara etimologi,
ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan
dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).[[1]] Dengan
kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk
mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.[[2]]Dalam
Al-Qur’an disebutkan:
… وَالَّذِينَ
لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ …
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta
seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan
sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam
pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَجْتَهِدُا وْ فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.[[3]]
Ijtihad adalah masdar dari fiil
madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadiijtahada pada
wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”.
Seperti halnya ka-sa-ba menjadiiktasaba, yang berarti
“usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti
usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl
al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk
mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan
tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad,
melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.[[4]]
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam
dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama.
Sebagai berikut:
1.
Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan
Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan
kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga
mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.
Al-Baidawi (w. 685 H), ahli
Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan
seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup
pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan
seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”[[5]]
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan
kemampuannya itu adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan
hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal
seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang
akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada
definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih
yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni
(dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah
dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni,
tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.[[6]]
Abdul
Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal
berikut:
A.
Pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
B.
Pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan hukum syarak yang amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah
kulliyah.
C.
Pencurahan segenap kesanggupan untuk
mendapatkan hukum syarak yang ‘amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna
ditetapkan hukumnya. [[7]]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya
rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu
masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
B.
DASAR HUKUM
IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber
hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:[[8]]
1.
Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat
menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
إِنَّ فى ذَا لِكَ لَأ يَا تٍ لِقَوْ مٍ يَتَفَكَرُ وْنَ
Artinya:
“sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berfikir”
2.
Firman Allah SWT Q.S.
An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan
sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti
hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan
kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah,
seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu
yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya seperti dalam
praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu
kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.[[9]]
3. Adanya keterangan dari sunah, yang
membolehkan berijtihad, diantaranya:
Sabda
Nabi SAW:
إذَا حكم الحاكم فاجْتهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْتهد ثـمّ أخْطأ فلهُ
أجْرٌ
Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan
kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak
memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala”
(H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.[[10]]
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ
رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ:
كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ:
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ:
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ
رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ
الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ
اللهِ (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah
saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz
menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:,
Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika
kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya
akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz
dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).[[11]]
Dan
hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[[12]]
C.
TUJUAN IJTIHAD
Menurut beberapa pendapat ijtihad memiliki tujuan
adalah untuk memudahkan kaum muslim dalam menyesuaiakan diri mereka dengan
pandangan islam tentang kehidupan. Dan berdasarkan prinsip dari sudut pandang teoritis ijtihad
bertujuan memperhatikan pandangan islam diterapkan sebanyak mungkin dalam
kehidupan seorang individu yang berhubungn dngan prilaku dan tindakan
individualnya serta kehidupan sosialnya ketika diperlukan dalam hubungan
sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat.[[13]]
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut
a.
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam
yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b.
Ijtihad merupakan sarana untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada
Al-Qur’an dan sunah.
c.
Ijtihad berfungsi pula sebagai
suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial
dengan ajaran-ajaran Islam.
d.
Ijtihad berfungsi sebagai
wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari
masalah-masalah seperti berikut ini:
1.
Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
2.
Masalah esensial misalnya mengenai
program pembangunan Negara dan bangsa.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah
upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari
semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah
Al-Qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya
ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal
ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun
tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi
harus memenuhi criteria tertentu. Dan tujuan dari ijtihad ialah untuk
memudahkan kaum muslim dalam menyesuaiakan diri mereka dengan pandangan islam
tentang kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 1. Jakarta:
Yudhistira
Matsum, Hasan. Diktat Ushul Fiqh. Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan
2012
Muhammad Baqir, Sayid. Sistem Politik Islam. Jakarta; Penerbit
Lentera. 2009
Syafa’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
Syuhada, Harjan, dkk. 2010. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: Bumi
Aksara
http://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/ 10-11-2018/ 20.25 WIB
[13]
Sayid Muhammad Baqir, Sistem Politik
Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera) h.59
[14] Margiono et.al., Pendidikan
Agama Islam 1 Lentera Kehidupan, (Jakarta: Yhudistira,
2007), h. 86